Politik identitas, Sebuah kosa kata yang seringkali dipahami sebagai pemersatu bagi suatu kelompok yang memiliki kesamaan identitas (in group unity) namun justru mengancam persatuan dan kesatuan bangsa (nation unity), Politik identitas dianggap oleh Francis Fukuyama, penulis buku "The End of History and The Last of Man" sebagai penyebab demokrasi liberal belum sepenuhnya berhasil menjadi ideologi paling berjaya di dalam sejarah peradaban manusia. Isu bangsa, sekte, ras, etnis, gender masih kuat dalam menegakkan paradigma mereka masing-masing daripada kesatuan dalam demokrasi liberal. Sebagai contoh: Di tahun 1943, Terjadi kerusuhan di India antara mayoritas hindu terhadap mayoritas muslim, dimana ada seorang tokoh muslim yang tidak dapat keluar dari kediamannya selama 3 hari karena dikepung oleh massa hindu. Padahal, di kediamannya, ada istri dan bayi yang membutuhkan makanan sehari-hari untuk mereka konsumsi. Mereka juga hanyalah keluarga miskin. Akhirnya, sang tokoh ini keluar dari rumah untuk mencari susu dan ironisnya, dia tewas ditumpas oleh massa hindu. Sebuah pertanyaan atas kisah diatas adalah tokoh ini tewas karena dirinya miskin atau karena dirinya muslim? Seringkali kisah diatas dimengerti terlalu dini sebagai problem agama. Begitu juga dengan tema islamofobia di India juga begitu sensitif disaat terjadi pemenggalan kepala seorang penjahit beragama hindu di Udaipur karena mendukung politikus partai yang menghina nabi Muhammad. Padahal India adalah negara demokrasi, namun politik identitas masih bersuara, mengeluarkan taring hakim sendiri, bahkan melakukan kekerasan atas nama isu bangsa, sekre, ras, etnis, gender, dsb. Itulah kenapa Yuvah Noah Harari menganggap politik identitas dalam agama telah membawa problem besar di dunia secara global. Dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st Century, Harari mengatakan bahwa semua komunitas beragama memiliki 3 problem tantangan besar yaitu technical problems, policy problems dan identity problems. Secara teknis, agama seharusnya melayani seluruh manusia, namun agama dimonopoli dan dipersempit hanay untuk satu kelompok saja. Secara policy, kaum beragama seharusnya menyingkapi dengan benar terhadap kebijakan publik terhadap kemanusiaan. Ironisnya, kebijakan mereka dipenuhi dengan "like dislike" sehingga setiap kebijakan yang dilakukan bersifat "one sided" dan "fragmented". Secara identitas, penguatan identitas memang diperlukan namun penguatan tersebut hanya berdampak positif hanya untuk kalangan sendiri, namun tidak berdampak positif terhadap solidaritas dalam perbedaan kelompok. Bagi Yuvah Noah Harari, politik identitas tidak menyelesaikan masalah, malah menciptakan problem baru. Mengapa? Karena manusia mengejar validasi (tymos), equalitas (isotymia) dan keunggulan (megalotymia). Jadi bagaimana solusinya? Francis Fukuyama menawarkan solusi dengan membangun identitas nasional (national identity) dalam kelompok-kelompok tersebut. Namun solusi Fukuyama pun masih sebuah ramalan yang belum terbukti. Bagaimana dengan kekristenan?
Iman kristen tidak pernah mengajarkan kepada orang percaya untuk menghidupi politik identitas. Justru kekristenan mengajarkan bahwa dunia harus menghidupi teologi dignitas. Teologi dignitas dibangun dari pengetahuan yang benar akan Allah dan pengetahuan yang benar akan manusia. Menurut Calvin: "the first ought to show us not only that there is only one God whom all must worship and honor, but also that the same one is the fountain of all truth, wisdom, goodness, righteousness, judgement, mercy, power and holiness, so that we may learn to expect and ask everything from Him, and also to acknowledge with praise and thanksgiving that all these things come from Him. The second part, by showing us our weakness, wretchedness, futility and greed, leads us to feel cast down about and to distrust and hate ourselves; and thend kindles in us desire to seek for God, since in Him lies all the good of which we are empty and naked". Mengutip dari Brian Rashner, "In the light of the knowing God, we recognize we are dependent creatures and sinner in desperate need of mercy. how self knowledge relates to knowledge of God", Jadi, manusia tidak mungkin memiliki fondasi pengetahuan yang benar dan sempurna jika bukan berasal dari Allah sendiri yang menyatakannya. Disini juga Calvin menekankan pengetahuan tentang siapa Allah di dalam relasi kita bukanlah pengetahuan yang abstrak maupun pengetahuan manusia yang terbatas namun pengetahuan yang difirmankanNya. Mengutip dari Calvin, "we have already noted that the knowledge of God ought to have the effect of planting in pour hearts some seed of religion. First in order to teach us to fear and revere God; and then in order to teach us that we must seek all good Him, and that we owe Him gratitude for that good."
Allah adalah Sang Pencipta dan manusia adalah ciptaan yang dicipta menurut gambar dan rupaNya (Kejadian 1:26-28), Maka hanya melalui teologi dignitas maka kita percaya bahwa hanya Tuhan yang memberikan kepada manusia hati yang mencintaiu kebenaranNya dan mengajarkan kepada manusia bagaimana kita berespon dengan benar terhadap apa yang Tuhan nyatakan bagi manusia melalui wahyu umum (general revelation) dan wahyu khusus (special revelation). Maka solusi dalam menghadapi krisis politik identitas hanya dapat terselesaikan disaat kita menghidupi dengan iman, teologi dignitas yang sesuai FirmanNya yang benar dan sempurna bukan bagi satu kelompok saja namun bagi dunia secara global.
Solideo Gloria
Pdt. Daniel Santoso
Hongkong
Comments
Post a Comment